Sunday 20 February 2011

Pak Abbas, Guru Matematika-ku

Baru saja aku menonton acara Kick Andi, edisi ulang (sore hari), yang menampilkan beberapa guru yang kreatif. Guru-guru itu menciptakan berbagai metode yang memudahkan muridnya dalam memahami pelajaran, apakah itu di bidang matematika, kimia, bahasa dan sebagainya. Di situ juga hadir pemerhati pendidikan yang juga seorang guru, Bapak Arief Rahman Hakim, sebagai salah satu nara sumber.

Melihat tayangan tersebut, mengingatkanku pada kejadian belasan tahun yang lalu, saat aku baru menginjak kelas tiga sekolah menengah pertama. Tayangan tersebut mengingatkanku pada guru matematikaku, Pak Abbas. Aku tak tahu apakah saat ini masih sama seperti dulu, dimana pelajaran matematika masih menjadi mata pelajaran yang disegani (atau mengerikan? Hehe..). Yup, saat itu, pelajaran yang paling tak kuminati adalah pelajaran matematika. Sebenarnya aku bukannya anti matematika. Tapi saat itu aku masih bergantung pada enak tidaknya cara guru mengajar (namanya juga bocah). Ketika mendapati guru matematika di kelas satu yang mengajar dengan cara yang kurang simpatik, entah kenapa otomatis aku menjadi tak tertarik untuk mengikuti pelajaran matematika (walaupun saat itu aku termasuk ke dalam urutan lima besar di antara seluruh siswa). Tapi tetap, pelajaran itu kuikuti dengan setengah hati, tanpa kesenangan mempelajarinya, dan tanpa ketertarikan.

Begitupun di kelas dua. Justru lebih menyeramkan bagiku. Hampir setiap pelajaran matematika, mungkin jantung kami para siswa (atau Cuma aku? Hihi..) berdegup kencang. Apa pasal? Karena saat itulah, guru kami, yang menurutku beliau hanya mengajar untuk siswa yang sudah mahir matematika saja (tidak menerangkan secara detil), akan memanggil kami secara acak untuk maju ke depan menjawab pertanyaan yang diajukan, setelah beliau menerangkan dengan singkat. Setiap kali bu guru berkeliling kelas dan melewati deretan kursi-kursi kami, jantungku berdegup kencang, khawatir aku yang dipanggil dan mendapat giliran maju ke depan kelas. Setiap kali beliau melewati deretan kursiku, aku berusaha tidak menarik perhatian, pura-pura melihat-lihat bukuku, biar kelihatan sibuk belajar…haha… Dan aku akan bernafas lega ketika pelajaran itu akhirnya berakhir. Begitulah hampir setiap pelajaran matematika. Membuatku jadi agak trauma dan benci matematika. Tapi anehnya, di saat seperti itu, nilaiku tidak terlalu parah juga disbanding teman-temanku….hehe…

Menginjak kelas tiga, sudah dipastikan bahwa seluruh siswa kelas tiga akan diajar oleh Pak Abbas untuk pelajaran matematika. Aku belum pernah tahu tentang Pak Abbas. Yang kudengar desas desusnya dari kakak kelas bahwa Pak Abba situ terkenal galak. Pernah juga sekali waktu aku bertemu Pak Abbas sekelebat saja. Dari raut wajahnya menurutku orangnya tegas, sedikit menyeramkan di mataku saat itu…hehe…  ditambah tak ada senyum yang menghiasi wajahnya, tambah takutlah aku. Tambah mengukuhkan pendapatku bahwa Pak Abbas orang yang galak. Mengingat bahwa aku pasti akan bertemu dengannya, ciutlah hatiku. Membayangkan mata pelajaran matematika yang harus kuterima darinya, sementara di kelas tiga aku harus menambah standar nilai matematikaku supaya lebih tinggi, sepertinya pesimis harapanku…hiks… Tapi apa boleh buatlah, semua siswa kelas tiga diajar oleh beliau, mau gimana lagi?

Pertama kali saat pelajaran matematika dimulai, kami (tepatnya mungkin aku…hehe) menunggu Pak Abbas dengan hati tak karuan. Bertanya-tanya akan seperti apakah nanti suasananya? Ketika akhirnya pintu kelas berderit, dan masuklah sosok Pak Abbas, kami semua diam. Beliau tersenyum ramah (alamak, Pak Abbas bisa senyum ternyata!! Hehe…), memperkenalkan diri dan bercerita sedikit tentang keluarganya, untuk kemudian memulai mengajar matematika.  Dari uraian beliau, hancurlah semua teoriku tentang sosok Pak Abbas. Ternyata, dibalik wajah yang terlihat sangar itu, beliau memiliki hati yang lembut. Ternyata, beliau adalah orang yang murah senyum dan bersuara sangat lembut. Ternyata beliaulah yang kemudian menjadi salah satu guru favoritku. Ternyata beliaulah yang telah membuat diriku mencintai matematika… Dan ternyata-ternyata lainnya, yang membuatku selalu ingat beliau hingga saat ini.

O iya, kembali kepada alasan kenapa acara Kick Andy itu mengingatkanku pada Pak Abbas?

Tentu saja karena metode dan cara beliau yang mengingatkanku. Aku ingat, pada saat itu, Pak Abbas mengajar kami seperti mengajar anak di sekolah Taman Kanak-Kanak. Dibawanya beberapa gambar sebagai ilustrasi dalam materi penghitungan jarak dan waktu, isi dan volume suatu bangunan, dan lainnya. Diuraikannya seluruh pelajaran matematika dengan kalimat yang pelan-pelan dan jelas. Aku bukanlah tipe pembelajar yang mudah mengerti suatu pelajaran hanya dengan mendengar dan melihat tulisan guru di papan tulis. Aku selalu memerlukan ilustrasi dalam belajar. Aku pembelajar kinestetik. Dan cara mengajar Pak Abbas, sangat cocok untukku, dan juga mungkin untuk hamper seluruh siswa di kelas. Memang mirip seperti mengajar anak TK…hehe… Kawan, andai kau bisa melihat buku pelajaran matematikaku di kelas tiga SMP, pasti akan kau temukan berbagai macam warna spidol dan stabile menghiasi di sana. Pasti akan kau temukan berbagai macam ilustrasi dan gambar, bukan hanya rumus-rumus yang kadang lupa kujabarkan kembali. Kami merasa seperti anak kecil lagi yang sedang belajar, tapi dengan materi yang lebih berat dan tetap bisa merasakan kesenangan mempelajarinya. Dan hebatnya, bila siswa belum merasa mengerti, beliau tanpa sungkan akan mengulang menerangkan sampai semua siswa memahami pelajaran hari itu. Bagi kami semua, pelajaran matematika menjadi pelajaran yang sangat menyenangkan. Kami menjadi bersemangat. Dan tak lupa, itupun berimbas pada nilai-nilai kami yang menjulang naik. Pada akhirnya aku bisa mengambil hikmahnya, oh mungkin ini sebabnya seluruh siswa di kelas tiga harus diajar oleh Pak Abbas. Tak salah memang, karena Pak Abbas adalah guru yang melakukan inovasi dalam mengajar matematika, pelajaran yang menurutku tak menarik. Pak Abbas telah membuatku merubah penilaian pada pelajaran matematika, dari tak menarik dan kubenci, menjadi pelajaran yang kucintai. Terima kasih Pak Abbas .

Nb :

O iya, seingatku selama beliau mengajar, aku hanya melihat sekali saja beliau berteriak, yaitu ketika hamper semua siswa pada hari itu ternyata tidak mencatat pelajaran yang beliau terangkan (Cuma satu orang yang mencatat), dan kami sekelas mendapat hukuman pukul di jari, pelan-pelan pakai penggaris panjang… itupun tidak sakit, kami bahkan tertawa-tawa. Hanya ada sakit di hatiku, karena aku telah mengecewakan beliau hari itu.

 

8 comments:

  1. pahlawan tanpa tanda jasa. semoga guru yang baik mendapat perhitungan atas ibadahnya di dunia untuk bekalnya di akhirat. amin

    ReplyDelete
  2. amiin... betul kak... mereka sangat berjasa buat kita :)

    ReplyDelete
  3. jarang banget ada guru seperti ini.
    betul kata pak Arief Rahman bahwa guru yang baik adalah guru yang senang melihat muridnya senang, bukan guru yang senang melihat muridnya stress hehehe
    kalo jaman sekarang kayanya lebih ke guru senang kalo orang tua muridnya yang stress :D

    ReplyDelete
  4. betul mba, gak semua guru mau bersusah payah bikin modul sendiri utk mempermudah muridnya belajar. walaupun si murid sudah tingkat lebih tinggi ternyata masih butuh penjelasan yang mendetil juga..
    orang tua muridnya sekarang stress bukan cuma karena pelajaran, tapi soal biaya juga...hehe...

    ReplyDelete
  5. top peningnya kalo udah bicara soal biaya :D

    ReplyDelete
  6. bapak dan ibuku guru lhoooo... *sapa yg nanya?*

    ReplyDelete
  7. pendidikan itu mahal ya...hiks :(

    ReplyDelete