Sunday, 17 October 2010

Jilbab Pertamaku-Aku Merasa Terasing

Cerita ini ditulis dalam rangka ikut berpartisipasi dalam lomba menulis dengan tema : Jilbab Pertamaku. Link-nya dibawah ini :

http://cambai.multiply.com/journal/item/339/Lomba_Menulis_Tema_Jilbab_Pertama_ku..._

Jilbab Pertamaku - Aku Merasa Terasing

Kalau ada yang bertanya kepadaku tentang jilbab pertama, yang kuingat adalah

masa-masa di SMEA (sekarang SMK), masa-masa terasing mengingat pada saat itu belum banyak muslimah yang memakai jilbab, masa-masa dimana kami harus lebih kreatif berbaju muslim, karena belum banyak yang menjual baju muslimah dan kerudung cantik seperti sekarang. Saat itu, sekitar awal tahun 90-an, di awal semester dua, aku begitu takjub melihat penampilan seorang temanku yang menurutku paling cantik di kelas. Dini namanya. Dia yang biasanya berseragam sekolah seperti biasa, tiba-tiba datang dengan pakaian yang baru. Rambutnya sudah tertutup kerudung lebar, baju pendeknya berganti dengan baju seragam lengan panjang, dan roknya walaupun pendek seperti biasa, tapi sudah ditambah dengan kaos kaki putih mirip pemain bola yang tebal dan panjang selutut, sehingga menutupi kakinya. Dalam hati aku bergumam,”sayang ya, kenapa Dini yang cantik ini harus ditutupi begitu?”. Dini yang merasa diperhatikan tiba-tiba bertanya kepadaku,”Kapan nih Samsiah pakai jilbab juga?” Hah! Kaget aku ditanya begitu, saat itu aku tak menjawab sepatah katapun, hanya senyuman kecut yang membias di wajah.

 

Lama kuperhatikan, Dini terlihat tambah anggun dengan jilbabnya. Aku jadi kagum padanya. Rasanya ingin juga aku seperti Dini, memakai jilbab.  

Alasanku, hitung-hitung bernostalgia, mengingat masa di sekolah madrasah ibtidaiyah dulu (setingkat Sekolah Dasar) yang setiap harinya aku diharuskan memakai kerudung. Jadi aku berfikir, naik kelas dua nanti, aku akan memakai jilbab juga, seperti Dini.

Akhirnya di hari pertama kelas dua, aku sudah mulai memakai jilbab. Pagi itu aku meminta ibu mengantarku ke pasar, untuk membeli kerudung putih, baju seragam sekolah baru lengan panjang, dan tak lupa juga kaos kaki putih ala pemain sepakbola. Sementara aku masuk sekolah di siang hari.  Jadi, baju dan kerudung yang baru kubeli, langsung kupakai di siang harinya. Itulah jilbab pertamaku, kerudung putih dan baju seragam sekolah.

Begitu masuk kelas, beberapa teman yang sudah memakai jilbab lebih dulu, begitu riang menyambutku, sambil mengucapkan selamat dan rasa syukur. Termasuk Dini. Aku tersenyum menatapnya. Dini pun tersenyum, sambil bertanya kepadaku,”Samsiah di rumah pake jilbab juga kan?” Hah! Aku kaget lagi. Dengan agak ragu-ragu aku menjawab,”Iy..iya….”. Padahal aku tak pernah terfikir untuk memakainya juga di rumah. Terus terang, aku tidak siap dengan pertanyaannya. Apakah aku harus pakai jilbab terus menerus? Apakah memang harus begitu? Karena sewaktu aku di sekolah madrasah dulu, aku hanya memakai jilbab di sekolah saja, sementara di rumah aku berpakaian seperti biasa. Begitulah, pertamakalinya aku memakai jilbab tanpa bekal ilmu yang memadai, hanya sekedar ikut-ikutan. Bahkan pernah aku ditanya seorang teman cowok tentang perintah memakai jilbab di al-qur’an, aku tidak tahu, justru dialah yang memberitahuku…malu banget..

Kembali ke pertanyaan Dini tadi, ya, pertanyaannya telah membuatku malu dalam hati, menohok perasaanku namun sekaligus membuat niatku makin menguat untuk terus memakai jilbab, tekadku, aku akan terus memakai jilbab, dimanapun aku diharuskan memakainya.

Dan ternyata, dari sinilah awal datangnya tantangan yang harus kuhadapi. Orangtuaku tidak siap melihatku memakai jilbab setiap waktu. Mereka mengira aku akan mem

akainya hanya ketika di sekolah saja. Makanya ketika aku terus memakainya hingga di rumah, mereka menjadi kaget. Mereka mulai menasihatiku agar tidak terus memakai dirumah, dari nasihat yang lembut, hingga sindiran dan bahkan aku juga pernah dicurigai bapak bahwa aku telah mengikuti salah satu ajaran aliran sesat. Duh bapak, bukan aku mau ikut aliran sesat, tapi aku hanya ingin berusaha menjadi muslimah yang lebih baik. Aku juga waktu itu baru belajar bahwa seorang muslimah harus menutup aurat. Sebagai anak yang introvert, aku hanya diam membisu setiap kali orangtua menegurku, meskipun di dalam hati aku merasa sedih sekali. Selanjutnya aku hanya bisa menangis sendiri di kamar. Mengadu pada Allah SWT tentang masalahku. Nanti keluar kamar, aku berpura-pura seperti tidak ada masalah, tetap diam dan tersenyum walau terus disindir dan diasingkan. Padahal saat itu aku cukup menanggung beban perasaan juga. Karena harapanku yang utama yaitu agar orangtuaku menyetujui keputusanku, belum terkabulkan. Aku merasa sendiri, tak ada yang mendukungku. Sempat juga terfikir olehku,”Ya Allah, kalau lebih banyak muslimah berjilbab, mungkin tak seberat ini bebanku, tapi kapan waktunya tiba?”

Demikian juga dengan lingkungan rumahku, seluruhnya tak ada yang mendukungku. Waktu itu muslimah berjilbab amatlah sedikit. Bahkan di daerah rumahku mungkin hanya aku yang berjilbab, hingga aku jadi cukup terkenal. Kalau ada orang yang tanya tentangku, mereka pasti langsung tau,”oooh si samsiah yang berjilbab itu?”(syukur deh, terkenalnya yang bagus-bagus aja..hehe..)

Jadi kalau aku berangkat sekolah atau keluar rumah. Hampir setiap tetangga yang kulewati, pasti menoleh memperhatikanku dengan pandangan aneh. Aku bagaikan seorang alien yang baru turun dari bumi, selalu menjadi pusat perhatian. Mereka melihatku dengan heran. Bila kuhampiri mereka, maksudnya aku ingin mengobrol, mereka menjauh pelan-pelan, seperti menghindariku.

Namun walaupun berbagai reaksi kuterima, kukuatkan hati untuk terus memakainya, meskipun waktu itu aku jadi merasa terasing di tengah masyarakat. Di saat seperti itu, ada satu hadist Rasulullah SAW yang selalu kuingat yang diajarkan guruku, yang bunyinya kira-kira begini : ”Islam datang dengan asing, dan suatu hari nanti akan kembali asing, dan orang-orang yang dianggap asing, itulah orang yang beruntung.” Hadist itulah yang terus menguatkanku, selalu terngiang di telingaku. Aku ingin menjadi orang asing yang dibilang Rasulullah sebagai orang yang beruntung itu. Bahkan kuingat ada satu nasyid yang sering kudengar pada saat itu, judulnya “Ghuroba”, artinya “Orang yang terasing”

Ada juga beberapa teman yang kemudian membuka kembali jilbabnya, tapi aku selalu berharap itu tidak akan terjadi padaku. Aku harus kuat. Fikirku, tantanganku belumlah terlalu berat dibandingkan dengan cerita-cerita temanku yang kubaca dari majalah maupun kudengar dari teman. Mereka ada juga yang dibakar jilbabnya atau sampai diusir dari rumah, bahkan dikeluarkan dari sekolah. Buatku, selama aku hanya dinasehati dan disindir, biar saja, kukuatkan terus, aku mau pakai jilbab terus, gak boleh menyerah.

Untunglah, di sekolah aku bisa tertawa dan bercanda dengan teman-teman, tak seperti di rumah yang hanya bisa diam dan kadang mengurung diri. Mereka juga yang menguatkanku, walaupun dengan teman yang berbeda agama, tapi mereka mendukung dan menghormati keputusan kami. Di sekolah aku dan teman-teman selalu kompak, kadang-kadang kami berdiskusi tentang agama masing-masing, namun tetap saling menghormati. Guru-guru kami, walaupun tidak sepenuhnya mendukung, tapi tak ada yang berani mengusik (hanya disindir kadang-kadang), karena waktu itu SK pemakaian jilbab di sekolah telah disetujui…yes!..hehe.

Ada seorang guru yang selalu menegur kami bila kami tidak memasukkan baju kedalam rok (maksud kami supaya tidak membentuk badan). Biasanya sambil menarik baju kami, beliau bertanya begini ,”Eeee… kamu hamil ya?” (walaupun beliau tau pasti kami gak hamil…hihi…), kami pun menjawab,”gak mungkin bu,” sambil terburu-buru kembali memasukkan baju. Tapi kalau bu guru itu sudah berlalu, kembali kami keluarkan baju seperti semula…hehe..

Dan berhubung pengetahuanku mengenai Islam masih minim, maka mulailah aku mempelajarinya lebih mendalam. Senang rasanya, bisa ikut mengkaji Islam. Caranya beda dengan yang biasa kudapat selama ini. Ada kajian qur’an, kemudian diterjemahkan dan dijelaskan maknanya. Bahkan aku membeli qur’an terjemahan yang tulisannya kecil dan hampir sulit dibaca. Hanya itu yang mampu kubeli.

Tapi untuk mengikuti kelompok belajar itupun ada tantangannya juga. Karena khawatir dicurigai sebagai pengikut aliran sesat, aku selalu minta ijin orangtua ikut mengaji dengan alasan “belajar tambahan”. Gak bohong kan? Hehe… Memang aku belajar, hanya yang kupelajari Al-Quran, bukan pelajaran sekolah.

Berbeda juga dengan keadaan sekarang, saat itu ketika di jalanpun kami bila bertemu muslimah lain selalu mengucapkan salam, walaupun belum pernah mengenal satu sama lain. Serasa bertemu saudara. Walaupun begitu, ketika bersama teman-teman, kami tidak boleh berjalan bergerombol. Jalan harus berdua-berdua, dan jaraknya gak boleh dekat-dekat. Alasannya? Khawatir dicurigai sebagai kelompok sesat dan karena kami masih dipandang aneh oleh masyarakat. Padahal kami hanyalah muslimah yang ingin terus belajar dan memperbaiki ilmu Islam kami dengan lebih baik.

Soal seragam sekolah, saat itu kami harus memakai baju batik setiap hari Jum’at. Seragam batik belum ada yang berlengan panjang. Maka kami mencari cara agar tetap bisa memakai batik, namun memenuhi syarat juga dalam memakai jilbab. Ada teman yang menyiasatinya dengan memakai dua baju, satu baju seragam putih dan diluar baju batik. Ada juga yang menyambung lengannya dengan bahan putih, bahkan ketika akhirnya koperasi sekolah menjual bahan batik, kami bisa menyambungnya sehingga tidak terlihat seperti bahan sambung. Pelan-pelan juga kami mulai diperbolehkan memakai rok panjang.

(aku, di baris belakang, ketiga dari kanan)

Gimana dengan pakaian sehari-hari? Berhubung waktu itu aku belum didukung orangtua, maka aku selalu menyisihkan uang jajan dan transporku untuk sedikit-sedikit membeli jilbab dan baju panjang. Karena penjual jilbab masih susah ditemukan (waktu itu yang banyak dijual hanya kerudung panjang berbentuk selendang), maka aku dan teman-teman (mungkin karena merasa senasib, kami menjadi sangat kompak) selalu patungan membeli bahan katun yang kemudian digunting dan dinecci (diberi pinggiran) sendiri, sehingga biayanya lebih murah. Kadang-kadang kalau aku bosan dengan warna yang sama, maka aku buat variasi necci dengan warna yang berbeda dengan warna jilbab. Sedangkan peraturan sekolah menentukan bahwa jilbab harus polos. Jilbab sekolah tak boleh macam-macam, tak boleh diberi renda, bordir, apalagi payet.

Gamis pertamaku adalah pemberian temanku, beliau memberikannya karena ukurannya sudah kekecilan dipakai untuknya. Aku bersyukur sekali mendapat gamis itu. Hampir sering kupakai di tiap kesempatan. Dan gamis keduaku kubeli dengan kumpulan uang jajanku sendiri, gamis coklat dengan bahan berat dan panas yang kalau kupakai pasti bikin gerah. Tapi hanya itu yang bisa kubeli. Alhamdulillah aku bersyukur, sudah bisa beli gamis sendiri. Pernah juga aku menemukan kaos bola lengan panjang di tumpukan baju-baju lama di lemari, warnanya kuning dengan garis hijau di bagian lengannya. Pokoknya norak abis deh, kalau difikir-fikir sekarang, gak bakalan deh aku mau memakai itu kaos…hehe… Tapi pada saat itu si kaos kuning norak betul-betul menolongku menambah koleksi baju panjangku. Aku juga ingat, setelah lulus, saat teman-temanku ingin menikah, mereka meminjam baju pengantin yang untuk ukuran saat ini, modelnya sangat sederhana (gamis putih dengan renda), dan bahkan baju itu selalu berpindah tangan dari satu teman ke teman yang lain, karena belum ada yang menjual baju pengantin muslim.

Syukur alhamdulillah, lama kelamaan karena kekerasan hatiku, orangtua tak lagi melarangku memakai jilbab, meski kadang-kadang tetap masih dinasehati dan disindir juga, tapi intensitasnya hamper jarang. Tapi setidaknya mereka tidak melarangku. Dan yang sangat menggembirakan, ketika aku sudah kelas tiga, guru kami yang dulu selalu menegur sambil bertanya,”kamu hamil?”, akhirnya beliau memakai jilbab juga dan bahkan menjadi tempat curhat kami.

Tantanganku selanjutnya adalah saat aku harus mencari kerja. Setelah lulus, di saat teman-teman sibuk mengikuti ujian seleksi masuk universitas, aku sibuk mencari pekerjaan, karena bapak tidak dapat membiayaiku kuliah. Kalau mau kuliah, aku harus bekerja sendiri, begitu bapakku bilang. Saat itu, bukan hal yang mudah untuk mendapatkan pekerjaan dengan memakai jilbab. Bahkan ada seorang temanku yang rela menanggalkan jilbabnya agar diterima bekerja. Sedih. Tapi mau bilang apa? Semua punya alasan masing-masing. Makanya saat-saat itu, aku benar-benar memohon kepada Allah agar mendapatkan tempat bekerja yang mengijinkanku memakai jilbab. Kalau tidak dapat pekerjaan, aku pasti disuruh membuka jilbab oleh bapak. Tapi alhamdulillah, setelah melamar di beberapa tempat dan sempat mendapat teguran dari bapak karena aku tetap gak mau membuka jilbab ketika melamar pekerjaan, tiga bulan setelah lulus sekolah, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan itu. Aku ingat, saat wawancara aku memakai baju pengajian ibuku yang sudah kekecilan… . Itu baju yang terbaik yang bisa kupakai. Dan waktu itu, aku satu-satunya karyawan yang berjilbab. Bahkan saking jarangnya orang memakai jilbab, aku pernah diajak bicara bahasa arab oleh seorang mahasiswa di dalam angkot, yang akhirnya kujawab dengan senyuman ala cengiran kuda….mungkin dikiranya aku ini lulusan pesantren.

Kini setelah bertahun-tahun kemudian, jilbab sudah tak dianggap asing dan aneh lagi. Begitu sejuk, dimana-mana banyak muslimah yang memakai jilbab. Aku sangat bersyukur. Bebanku berkurang, tapi tantanganku tetap ada. Saat ini tantangan datang bukan dari luar, tapi justru dari dalam diri sendiri. Berjilbab menuntutku untuk bersikap lebih baik lagi. Aku mengakui, sebagai manusia, kadang-kadang aku melakukan kesalahan juga. Ampuni aku ya Allah. Dan aku juga selalu berdo’a semoga aku tetap istiqomah menjaga jilbab ini dengan sebaik-baiknya, karena teringat dulu, untuk memakainya diperlukan perjuangan yang tak ringan, bahkan untuk teman-teman yang lain, mereka harus berjuang lebih berat dariku. Semoga ada pelajaran yang dapat diambil dari ceritaku. Amiin.

Buat Dini sayang :

Terima kasih sudah mengajukan pertanyaan yang telah merubah hidupku

 

10 comments:

  1. jadi inget jaman dulu, pakai jilbab kudu siap dicap ekstrimis.... xixixix.....

    ReplyDelete
  2. yup..betul...kudu tebel-tebelin kuping dan modal cuek abis...xixixi...

    ReplyDelete
  3. semangat mba..
    aku ga bisa ngebayangin bagaimana perjuangan muslimah jaman dulu mempertahankn jilbab mereka
    sedih euy..

    ReplyDelete
  4. Iya ya,jd inget jaman smp dan sma,dimana masih dikiiit bgt muslimah yg make jilbab..
    Tapi alhamdulillah skrg jilbab menjadi hal yang sangat biasa,dengan model dan baju yg juga tambah cantik2..alhamdulillah :))

    ReplyDelete
  5. semangat mba :) & semoga istiqamah selalu :)

    ReplyDelete
  6. iya, susah euy.. harus pede abis :)

    ReplyDelete
  7. iya mba Nanda, alhamdulillah... gak kesulitan lagi sekarang.. mau baju yang model apa aja, tinggal beli :)

    ReplyDelete