Wednesday, 31 October 2012



Antologi CAROK-Di Kereta Pasar

Kawan, saya yakin, pastilah kalian sudah pernah (bahkan mungkin sering ya?) melihat pemandangan seperti ini, penumpang kereta yang berjubel memenuhi bagian dalam dan atas kereta. Seperti saya, yang tinggal di sekitar Jakarta Selatan, hampir setiap hari bisa melihat pemandangan seperti itu di dekat Stasiun Kalibata, pada saat jam-jam pulang kantor.
Kalau melihat pemandangan seperti itu, ingatan saya selalu melayang pada peristiwa puluhan tahun lalu, dimana pertamakalinya saya naik kereta dari Stasiun Tanah Abang. Pengalaman yang tak terlupakan, karena sangat berkesan buat kami semua.

Hari itu, saya begitu ingat, masih dalam suasana Hari Raya Idul Fitri, saya diajak ibu dan paman pulang kampung ke Rangkas Bitung. Tidak seperti biasanya dimana kami naik bis “Sadar” (nama bis-nya Sadar, tapi pas dinaikkin ngebutnya minta ampun, macam bis yang lagi gak sadar…hehe..), pulang kampung kali ini ibu mengajak naik kereta .  Sebagai anak yang masih kecil, saya dan adik saya manut saja, mengikuti ibu saya, walaupun saat itu saya melihat ibu dan paman agak berdebat soal transportasi. Nampaknya mereka belum sepakat, apakah naik kereta atau bis. Namun akhirnya disepakati kami naik kereta dan kamipun dengan tenang ikut menunggu kereta yang belum datang.

Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya kereta pun datang. Kami bergegas berebut masuk, karena rupanya hari itu banyak sekali penumpang dengan tujuan yang sama. Aku pun segera berlari, sambil berpegangan tangan erat dengan ibu, khawatir akan tertinggal kereta. Kalau dilihat, penuhnya mirip sekali dengan penumpang kereta yang kulihat di tv yang berdesakan itu.
Pyuhhh… akhirnya kami semua bisa masuk juga ke dalam kereta. Kami sedikit lega. Sedikit? Iya sedikit saja, karena ternyata ketika di dalam kereta, suasananya sudah mirip seperti pasar. Banyak penumpang, dan juga penjual makanan maupun mainan sudah berjejal di dalam. Tempat duduk? Seperti model kereta ekonomi jurusan Jakarta-Bogor, kursinya hanya menyamping, tidak seperti kursi di kereta luar kota semacam kereta jurusan Bandung yang bagus dan deretannya seperti kursi di dalam bis. Dan kami? Tak satupun yang mendapat tempat duduk. Saya merasa seperti berada di dalam pasar, bukan di dalam kereta. Untungnya saya bukan anak yang rewel dan cengeng. Dengan keadaan hiruk pikuk dan udara panas serta bau keringat dan segala macam bau lainnya di dalam kereta seperti itu, saya hanya terdiam sambil tetap mencengkeram lengan ibu dengan kencang. Yang saya khawatirkan hanya terpisah dari ibu. Sementara adik saya pun begitu, tak terlalu rewel. Adik pertama berdiri di dekat saya, ikut berpegangan. Sedang adik bungsu ada dalam gendongan ibu.

Sebalnya, semakin jauh kereta berjalan, bukannya semakin berkurang penumpang dan pedagang, justru semakin sesak. Bayangkan saja, ada penumpang yang membawa pisang bertandan-tandan, sayur-mayur, ayam hidup, belum lagi yang berjualan hilir mudik (aneh kan? Bisa hilir mudik di tengah desakan? Betul lho ini, dia hilir mudik dan memaksa melewati penumpang yang sedang berjejalan). 

Dan yang makin menyebalkan, diantara  jejalan penumpang yang sudah tak tertahankan, tiba-tiba datanglah pedagang minuman teh dalam kemasan botol, lengkap bersama petinya dua atau tiga tumpuk. Peti botol minuman itu dengan seenaknya diletakkan di tengah-tengah kerumunan penumpang yang sedang megap-megap mencari sedikit ruang untuk berdiri (sudah gak ada lagi yang bisa duduk). Peti botol itu tepat bertengger di dekat kami. Dengan segera kami protes pada penjual minuman tersebut. Namun rupanya penjual tersebut memang tak punya empati dengan keadaan penumpang. Buktinya dia dengan cueknya tetap meletakkan petinya. Dan yang membuat kami kesal, rupanya dia hanya titip meletakkan peti tersebut di tengah-tengah kami, sementara setelah itu si penjual yang tak tahu diri itu membawa beberapa botol minuman di tangannya kemudian pergi menjajakan jualannya ke gerbong-gerbong yang lain. Kami mulai mengomel-ngomel, tapi semua juga nampak sibuk dengan urusan masing-masing. Semua Nampak berusaha membuat diri masing-masing nyaman dengan keadaan yang sedang tak menyenangkan itu. Saya dan adik juga ikutan mengomel pada ibu, menyesali kenapa naik kereta semacam ini. Ibupun ikut menggerutu. Semua akhirnya menggerutu. Semua bertekad, gak akan mau naik kereta lagi kalau pulang kampong. Kereta pasar, dengan penumpang dan pedagang yang sermrawut dan tak pedulian dengan sesamanya.
Setelah akhirnya kami sampai di Stasiun Rangkas Bitung, kami begitu lega. Dan masih dengan penampilan yang acak-acakan akibat desakan di dalam kereta, segera kami mencari warung bakso terdekat, untuk makan sambil beristirahat sementara dan kemudian melanjutkan naik kendaraan menuju kampung halaman.
Hingga sekarang, pengalaman berdesakan di kereta ekonomi lengkap dengan pedagang minuman yang tak punya perasaan itu, terus teringat di benak saya dan adik-adik. Sampai puluhan tahun kemudian, sampai sekarang, sekalipun kami gak pernah mau lagi diajak ke kampung naik kereta. Pengalaman yang amat menyebalkan, membuat jera, namun bila diceritakan kembali bersama adik-adik dan ibu, malah membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Tertawa miris karena sebal dengan keadaan saat itu.

Tentang saya, apakah saya kapok naik kereta? Kalau ke kampung tentu saja kapok setengah mati, tapi kalau naik kereta commuter line yang ber-AC, tentu saya mau. Lagipula terkadang saya mengalami keadaan harus melakukan perjalanan naik kereta di saat-saat tertentu, tentunya hal itu tak bisa ditampik. Sesak sedikit tak apa, asalkan tak ada penjual minuman sembarangan seperti di kereta dulu…