Siang itu matahari bersinar begitu teriknya. Jarum jam di dinding rumahku menunjukkan ke angka dua belas. Aku tahu, setiap sore pedagang es balok akan datang berkeliling menjajakan jualannya, tapi hari itu, di tengah hari yang panas, dengan semangat aku sudah bersiap-siap menunggunya di pinggir jalan. Kenapa tukang es balok harus ditunggu? Karena pada saat itu, belum banyak orang yang punya kulkas. Mungkin baru satu atau dua orang tetangga yang punya kulkas.
Ku duduk di depan teras rumah tetangga yang kebetulan rumahnya di pinggir jalan. Hhmm... Masih sepi, belum ada orang satupun selain aku yang menunggu tukang es itu. Biasanya aku menunggu bersama teman sebayaku, atau bersama dengan ibu-ibu lain. Jadi siang itu aku duduk sendiri, di pinggir jalan, di teras tetangga. Duh panasnya. Sebentar-sebentar aku meludah, karena pernah ada temanku yang bilang, menelan ludah sedikit saja akan membatalkan puasa. Dan aku tidak mau puasaku batal.
Meludah terus menerus (kalau difikir sekarang, ih joroknya ) membuat ternggorokanku menjadi benar-benar kering. Walaupun tenggorokanku menjadi sakit dan benar-benar haus, tapi aku merasa puas. Ini puasa pertamaku. Dan aku tidak ingin gagal di puasa pertama. Aku tidak mau kalah dengan temanku yang lain. Mereka juga pasti menjalankan puasanya hari ini masing-masing di rumah mereka. Dan mereka nantinya pasti akan menceritakan bagaimana puasa mereka pada saat kami masuk sekolah kembali. Ya, selama sebulan ini kami memang mendapat libur. Itu yang dikatakan bu guru waktu itu. Jadi nanti kami kembali bersekolah setelah lebaran.
Aku terus menunggu tukang es di tempat itu. Jangan salah, es itu bukan untuk diminum siang hari. Ingat! Aku kan puasa. Es itu nanti akan dicampur sirop rasa pisang ambon yang warnanya merah, atau rasa pala, yang warnanya hijau, kemudian diminum pada saat berbuka. Dan yang paling enak waktu itu adalah sirop merk Sarang Sari. Tapi sayangnya sirop itu masih mahal bagi kami, makanya sirop sarang sari hanya bisa dibeli sekali saja dalam sebulan. Sirop itu begitu istimewa. Paling top di antara sirop yang lain. Dengan aroma vanilla-nya yang menyeruak, dan manisnya yang tak berlebihan, membuat hilang segera dahaga kami tanpa meninggalkan sisa kekeruhan menempel di gelas. Segarnya. Glek! Tiba-tiba aku menelan air liurku. Sambil duduk sendiri, ternyata aku jadi membayangkan enaknya rasa sirop itu. Tapi ah... aku gak boleh membayangkan sirop. Aku lagi puasa.
Aku kembali tersadar. Ternyata aku masih sendiri di pinggir jalan itu. Mungkin semua orang sedang tidur siang. Atau mungkin sedang malas keluar rumah, akibat panasnya matahari yang membakar. Lama kelamaan aku jadi bosan. Akhirnya aku kembali pulang.
Di rumah aku segera berbaring di lantai. Lumayan. Lantai yang disebut bapak "ubin teraso" ini sangat mendinginkan badanku. Walaupun bapak sering memarahiku untuk tidak tidur di lantai, karena khawatir terkena paru-paru basah (dalam fikiran kanak-kanakku, aku bingung dengan yang disebut bapak "paru-paru basah", apakah paru-parunya jadi berair? hhmm... tak fahamlah), tapi aku tak peduli. Hari ini aku puasa, badanku lemas dan aku tak mau batal. Aku ingin badanku segar.
Jadi aku terus berbaring, walaupun aku tak bisa tidur. Kulihat jam di dinding. Bergerak lambat. Aku bingung mau ngapain lagi. Bosan. Tak mungkin aku main ke rumah teman. Mereka juga pasti sedang lemas-lemasnya. Dan pasti malas bermain.
Ku tengok emak yang ada di dapur. Bau kolak sangat menggoda. Tapi aku cuma mengintip. Tak berani mendekat. Khawatir jadi lapar. Aku segera keluar dan berjalan berkeliling ke rumah tetangga. Sepi. Tak ada orang. Semua di dalam rumah masing-masing. Hiks... siang itu aku jadi anak yang gak jelas juntrungannya. Malang melintang sendirian, dengan tenggorokan yang kering dan perut keroncongan, tak karuan. Akhirnya aku kembali ke rumah, dan melanjutkan berbaring telungkup, mirip cicak di dinding (diam tapi tak merayap).
Beberapa jam kemudian, sore menjelang. Kufikir sudah waktunya aku kembali keluar, menunggu abang penjual es balok. Dan kebetulan emak pun menyuruhku keluar mencegat si abang. Sewaktu aku kembali ke tempat semula, sudah ada beberapa temanku dan ibu-ibu yang juga menunggu si abang. Biasanya kalau si abang muncul, kami sudah dapat melihatnya dari jauh, kelihatan berjalan dengan gerobaknya. Tapi waktu itu si abang belum kelihatan batang hidungnya (apalagi gerobaknya ).
Pffyuuhh... rupanya hari itu si abang agak lambat datang. Mungkin juga karena hari pertama bulan puasa, jadi si abang belum terbiasa mengantar kembali pasokan es yang lebih banyak dari biasanya buat para pembelinya. Sambil menunggu kami pun mengobrol. Saling meledek dan menggoda, mencandai kira-kira siapa hari itu yang sudah batal puasanya. Tapi aku merasa bangga, karena sampai sore itu aku belum batal.
Sedang asyiknya kami mengobrol, tiba-tiba seorang ibu yang juga sedang menunggu, berteriak keras,"Ituuu.... si abang udah dateng, ayoo!!", kami pun menoleh sesuai petunjuk si ibu. Dari kejauhan, terlihat abang mendorong gerobak es baloknya, dengan susah payah. Rupanya wilayah kami adalah tempat yang pertama harus didatangi si abang, jadi tentu saja es baloknya masih lengkap (sampai sekarang, masih ku ingat wajahnya si abang, dengan topinya...hihi). Bagaikan melihat oase di padang pasir, begitu girang kami melihat si abang. Wajah kami jadi berseri-seri, kami pun segera menghampiri dan mengerubunginya. Dan dengan besi panjang si abang segera membelah es balok dan memotongnya jadi kecil sesuai permintaan kami. Melihat kesegaran es balok yang sedang dibelah, hausku bertambah-tambah. Terbayang lagi sirop rasa pala yang hijau. Segarnya dicampur es balok. Glek! Aku menelan air liur lagi. Segera kuserahkan uang yang diberikan emak untuk membeli es, dan segera pulang setelah kudapatkan es yang kuminta. Sambil melompat-lompat girang macam kelinci, aku membawa es itu dan menyerahkannya pada emak.
Adzan maghrib tinggal sebentar lagi berkumandang. Sambil menunggu-nunggu aku bermain di depan rumah. Kebetulan di tempat itu juga sedang berkumpul ibu-ibu lain yang sedang mengobrol. Mereka saling bertanya-tanya tentang puasa anaknya, maupun puasa dirinya sendiri. Ku ingat sekali, waktu itu ada salah seorang tetangga, namanya Tante M, dia menanyakan padaku,"Iah, puasa gak?" Aku pun mengangguk mengiyakan. "Belum batal sampai sekarang?" Aku pun mengangguk lagi... Tante M berkata lagi,"Wah hebat ya Iah, masih kecil aja udah puasa sehari penuh"... Mendengar itu aku tersenyum bangga, senyum kemenangan anak umur enam tahun yang baru pertama kali puasa.
Duk..duk... duk.... bunyi beduk dipukul, tanda adzan Maghrib. Itu juga tanda waktunya berbuka puasa. Dengan hati senang, aku segera meneguk es sirop rasa pala warna hijau yang sudah terbayang sejak siang tadi. Betapa senangnya, saat berbuka. Rasa haus dan lapar yang merongrong sejak siang, terganti dengan segarnya es dan enaknya kolak yang dibuat emak. Dalam hati, aku besok mau puasa lagi. Dan harus kuat. Puasa hari pertama aku kuat, dan harus kuat juga puasa selanjutnya
. Ehhmm... dan besok aku mau nunggu tukang es balok lagi
*Ditulis untuk diikutkan pada lomba menulis
di sini*