Apa yang terbetik di benak kita ketika ada orang berjanji pada kita kemudian dia mengucapkan ‘Insya Allah’? Kebanyakan dari kita pasti meragukan janji orang tersebut. Timbul dalam benak kita, “Apakah orang itu benar-benar akan memenuhi janjinya pada kita?” “Kok bilang Insya Allah, jangan-jangan dia bohong nih!”
Hal tersebut juga terjadi pada saya. Suatu hari teman saya di kantor meminta saya untuk memberikan sejumlah uang secara tunai pada waktu yang telah ditentukan. Biasanya saya mengirimkan uang tersebut secara tidak langsung, artinya ditransfer melalui bank yang ditunjuk. Kemudian saya bilang pada dia,”Insya Allah, nanti dibayar cash”. Terus dia bilang,”Kok bilang insya Allah?” “Nanti gak ditepatin lagi!” Saya kemudian bengong sebentar, lalu saya jawab,”Kenapa kalo dibilang insya allah terus jadi ragu kalau gue akan nepatin janji?” saya teruskan lagi,”insya allah mana nih? Insya allah
Kalau insya allah dalam islam itu, kita mengusahakan untuk memenuhi janji kita, dan jika kemudian ketika kita sudah berusaha keras untuk memenuhi janji itu, terjadi hal yang di luar kekuasaan kita hingga kita tidak dapat memenuhi janji kita tersebut, berarti itu sudah ketentuan Allah kita tak dapat memenuhinya. Insya Allah, “jika Allah menghendaki/berkehendak”. Karena ketika kita berjanji pada seseorang, kita juga tidak seharusnya dengan pedenya bilang, “ok deh, saya pasti tepatin janji”, tanpa mengucapkan ‘insya allah’. Karena Rasulullah SAW pun pernah ditegur Allah SWT dalam hal ini. Saya tidak tahu persis redaksinya (mohon maaf atas kekurangan ini, itulah saya, mudah lupa…:D), tapi inti ceritanya adalah begini :
Pada suatu hari ada salah seorang sahabat yang menanyakan suatu persoalan pada Rasulullah yang pada saat itu jawaban atas pertanyaan sahabat yang bersangkutan belum ada pemecahannya dalam Al-Qur’an. Kemudian Rasulullah mengatakan pada sahabat tersebut dengan pasti,”tunggulah beberapa hari lagi akan ada jawaban dari Allah SWT tentang persoalan yang kamu tanyakan” (tanpa mengucapkan Insya Allah). Kemudian si sahabat kembali pulang. Rasulullah mengatakan hal itu karena “biasanya” bila ada suatu masalah yang belum dapat dipecahkan pada saat itu,”biasanya” tidak lama kemudian Allah akan memberi petunjuk pada Rasulullah dengan menurunkan ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan persoalan yang sedang terjadi.
Hari-hari berlalu, tanpa ada petunjuk dari Allah SWT, dan tak ada satu ayat pun yang diturunkan pada Rasulullah. Rasulullah merasa resah. Kenapa Allah tidak menurunkan satu ayat pun?. Sampai akhirnya si sahabat yang telah dijanjikan tersebut datang kembali untuk menagih janji Rasulullah padanya. Akhirnya rasullah dengan berat hati meminta maaf pada si sahabat karena belum bisa menjawab pertanyaan yang diajukan disebabkan belum turunnya ayat. Hingga kira-kira sebulan telah berlalu (maaf kalau salah hitung, mohon koreksinya), barulah Allah menurunkan ayat-Nya. Tapi ayat yang turun itu bukanlah jawaban yang diharapkan Rasulullah untuk memecahkan persoalan yang sedang ditanyakan. Melainkan ayat tersebut berisi teguran kepada Rasulullah karena telah berjanji tanpa mengucapkan “Insya Allah”. Pada saat itulah Rasulullah menyadari kekhilafannya, dan memohon ampun kepada Allah SWT.
Kembali kepada persoalan penerapan ucapan ‘Insya Allah’. Bahwa dalam Islam ucapan itu berarti pengakuan kita terhadap segala ketentuan Allah SWT yang terjadi pada kita, bahwa penentu terakhir adalah Allah, bukan kita. Bahwa kita hanya bisa berusaha (ingat ya, “usaha” dulu), dan keputusan terakhir ada di tangan Allah. Dan juga bahwa ucapan itu bukanlah untuk menjadikan ‘alasan’ kita untuk mengingkari janji yang telah kita ucapkan.
Begitulah seharusnya penerapan Insya Allah.
Memang kebanyakan orang saat ini selalu bilang dengan pasrah, sebelum ada usaha,”yah kita
Waduh, udah salah penerapan tuh. So, mulai sekarang, mari kita ganti persepsi ucapan ‘Insya Allah’.
Ucapkan selalu ‘Insya Allah’ ketika kita berjanji dengan tekad untuk memenuhi janji tersebut sekuat usaha kita dan menyerahkan hasilnya pada ketentuan Allah SWT.