Antologi CAROK-Di Kereta Pasar
Kawan, saya
yakin, pastilah kalian sudah pernah (bahkan mungkin sering ya?) melihat pemandangan
seperti ini, penumpang kereta yang berjubel memenuhi bagian dalam dan atas
kereta. Seperti saya, yang tinggal di sekitar Jakarta Selatan, hampir setiap
hari bisa melihat pemandangan seperti itu di dekat Stasiun Kalibata, pada saat
jam-jam pulang kantor.
Kalau melihat
pemandangan seperti itu, ingatan saya selalu melayang pada peristiwa puluhan
tahun lalu, dimana pertamakalinya saya naik kereta dari Stasiun Tanah Abang.
Pengalaman yang tak terlupakan, karena sangat berkesan buat kami semua.
Hari itu, saya
begitu ingat, masih dalam suasana Hari Raya Idul Fitri, saya diajak ibu dan
paman pulang kampung ke Rangkas Bitung. Tidak seperti biasanya dimana kami naik
bis “Sadar” (nama bis-nya Sadar, tapi pas dinaikkin ngebutnya minta ampun,
macam bis yang lagi gak sadar…hehe..), pulang kampung kali ini ibu mengajak
naik kereta . Sebagai anak yang masih
kecil, saya dan adik saya manut saja, mengikuti ibu saya, walaupun saat itu
saya melihat ibu dan paman agak berdebat soal transportasi. Nampaknya mereka
belum sepakat, apakah naik kereta atau bis. Namun akhirnya disepakati kami naik
kereta dan kamipun dengan tenang ikut menunggu kereta yang belum datang.
Setelah hampir
satu jam menunggu, akhirnya kereta pun datang. Kami bergegas berebut masuk,
karena rupanya hari itu banyak sekali penumpang dengan tujuan yang sama. Aku
pun segera berlari, sambil berpegangan tangan erat dengan ibu, khawatir akan
tertinggal kereta. Kalau dilihat, penuhnya mirip sekali dengan penumpang kereta
yang kulihat di tv yang berdesakan itu.
Pyuhhh… akhirnya
kami semua bisa masuk juga ke dalam kereta. Kami sedikit lega. Sedikit? Iya
sedikit saja, karena ternyata ketika di dalam kereta, suasananya sudah mirip
seperti pasar. Banyak penumpang, dan juga penjual makanan maupun mainan sudah
berjejal di dalam. Tempat duduk? Seperti model kereta ekonomi jurusan
Jakarta-Bogor, kursinya hanya menyamping, tidak seperti kursi di kereta luar
kota semacam kereta jurusan Bandung yang bagus dan deretannya seperti kursi di
dalam bis. Dan kami? Tak satupun yang mendapat tempat duduk. Saya merasa
seperti berada di dalam pasar, bukan di dalam kereta. Untungnya saya bukan anak
yang rewel dan cengeng. Dengan keadaan hiruk pikuk dan udara panas serta bau
keringat dan segala macam bau lainnya di dalam kereta seperti itu, saya hanya
terdiam sambil tetap mencengkeram lengan ibu dengan kencang. Yang saya
khawatirkan hanya terpisah dari ibu. Sementara adik saya pun begitu, tak
terlalu rewel. Adik pertama berdiri di dekat saya, ikut berpegangan. Sedang
adik bungsu ada dalam gendongan ibu.
Sebalnya,
semakin jauh kereta berjalan, bukannya semakin berkurang penumpang dan
pedagang, justru semakin sesak. Bayangkan saja, ada penumpang yang membawa
pisang bertandan-tandan, sayur-mayur, ayam hidup, belum lagi yang berjualan
hilir mudik (aneh kan? Bisa hilir mudik di tengah desakan? Betul lho ini, dia
hilir mudik dan memaksa melewati penumpang yang sedang berjejalan).
Dan yang makin
menyebalkan, diantara jejalan penumpang
yang sudah tak tertahankan, tiba-tiba datanglah pedagang minuman teh dalam
kemasan botol, lengkap bersama petinya dua atau tiga tumpuk. Peti botol minuman
itu dengan seenaknya diletakkan di tengah-tengah kerumunan penumpang yang
sedang megap-megap mencari sedikit ruang untuk berdiri (sudah gak ada lagi yang
bisa duduk). Peti botol itu tepat bertengger di dekat kami. Dengan segera kami
protes pada penjual minuman tersebut. Namun rupanya penjual tersebut memang tak
punya empati dengan keadaan penumpang. Buktinya dia dengan cueknya tetap
meletakkan petinya. Dan yang membuat kami kesal, rupanya dia hanya titip
meletakkan peti tersebut di tengah-tengah kami, sementara setelah itu si
penjual yang tak tahu diri itu membawa beberapa botol minuman di tangannya
kemudian pergi menjajakan jualannya ke gerbong-gerbong yang lain. Kami mulai
mengomel-ngomel, tapi semua juga nampak sibuk dengan urusan masing-masing.
Semua Nampak berusaha membuat diri masing-masing nyaman dengan keadaan yang
sedang tak menyenangkan itu. Saya dan adik juga ikutan mengomel pada ibu,
menyesali kenapa naik kereta semacam ini. Ibupun ikut menggerutu. Semua
akhirnya menggerutu. Semua bertekad, gak akan mau naik kereta lagi kalau pulang
kampong. Kereta pasar, dengan penumpang dan pedagang yang sermrawut dan tak
pedulian dengan sesamanya.
Setelah akhirnya
kami sampai di Stasiun Rangkas Bitung, kami begitu lega. Dan masih dengan
penampilan yang acak-acakan akibat desakan di dalam kereta, segera kami mencari
warung bakso terdekat, untuk makan sambil beristirahat sementara dan kemudian
melanjutkan naik kendaraan menuju kampung halaman.
Hingga sekarang,
pengalaman berdesakan di kereta ekonomi lengkap dengan pedagang minuman yang
tak punya perasaan itu, terus teringat di benak saya dan adik-adik. Sampai
puluhan tahun kemudian, sampai sekarang, sekalipun kami gak pernah mau lagi
diajak ke kampung naik kereta. Pengalaman yang amat menyebalkan, membuat jera,
namun bila diceritakan kembali bersama adik-adik dan ibu, malah membuat kami
tertawa terpingkal-pingkal. Tertawa miris karena sebal dengan keadaan saat itu.